MEP-07


kembali | lanjut

MEP-07MASIH ada waktu. Jangan tergesa-gesa. Ketergesa-gesaan kadang-kadang menimbulkan banyak kesalahan”

Perempuan tua itu mengangguk sekali lagi “Baiklah Nyai. Aku akan ke dapur lagi”

Maka dilakukannya pesan Nyai Reksatani itu. Tetapi ia tidak menunggu apakah nasi yang ditanaknya semula itu akan masak. Supaya tidak dikejar oleh waktu, maka ia pun menanak nasi di tempat dan dengan alat yang lain.

“Kau menanak nasi lagi mBok ayu?” bertanya orang yang menggantikannya.

“Nyai Reksatani menyuruh aku menanak nasi yang lain. Kalau nasi itu tidak juga mau masak, kita tidak akan kebingungan.”

“Kalau nasi ini nanti mau masak juga?”

“Masih ada banyak sekali mulut yang akan makan”

Yang mendengar pembicaraan itu tersenyum. Perempuan muda yang membuat hawug-hawug itu pun datang mendekatinya “Lambat laun makanan itu masak juga bibi”

“Nah. kalau begitu, kukusannyalah yang salah. Lubangnya pasti terlampau kecil, seperti kukusan yang dipergunakan untuk menanak nasi itu”

“Tetapi kenapa justru yang di bawah yang mentah?”

Perempuan tua itu. tidak menjawab. Sambil mengangkat bahu ia berkata “Tetapi nasi itu akhirnya akan masak juga”

Ternyata kata-katanya itu benar. Meskipun jauh lebih lama dari waktu yang biasanya dipergunakan, nasi itupun masak juga. Tetapi rasanya tidak sesedap nasi yang biasa, seaka-nakan nasi itu terlampau lama terendam di dalam air.

Tetapi tidak banyak orang yang memperhatikan hal itu.

Perempuan tua, perempuan separo baya yang menggantikan-nya, perempuan muda yang membuat makanan, ternyata tidak banyak menceriterakannya kepada orang lain agar tidak menumbuhkan kegelisahan. Meskipun demikian sambil berbisik-bisik hal itupun meloncat dari mulut ketelinga kemudian ke telinga yang lain pula, sehingga semakin malam, semakin banyak pula orang yang mengerti. Tetapi mimpi yang mendebarkan itu tidak pernah diceriterakan kepada orang lain kecuali Nyai Reksatani.

Demikianlah maka malam pun menjadi semakin malam. Ketika semua persiapan sudah selesai, menjelang tengah malam, maka semua orang yang ikut serta di dalam upacara itupun telah dijamu makan. Sebentar lagi mereka akan segera mengikuti upacara adat, memandikan kedua suami isteri yang sedang menyambut kandungan anak mereka genap tujuh bulan.

Pendapa Kademangan Kepandak yang terang benderang seperti siang itupun tampak gembira sekali. Setiap kali suara tertawa meledak diantara para tamu yang sedang dijamu makan Sempat juga mereka menyuapi mulut mereka sambil berkelakar.

Di ruang dalam perempuan-perempuan tua telah siap dengan segala macam persiapan mereka. Rujak edan, pakaian tujuh pengadeg, cengkir kelapa sawit bergambar Kama dan Ratih serta berbagai macamperlengkapan yang lain.

Ketika ayam jantan berkokok di tengah malam dan menjalar dari kandang kekandang, maka orang-orang tuapun berdiri dari tempatnya masing-masing.

Seorang yang diserahi memimpin upacara itu pun segera membawa sepasang suami isteri itu ke pakiwan yang sudah diisi dengan air yang diambil dari tujuh buah sumur.

Setelah dibacakan mantera, maka orang tua itulah yang pertama-tama menyiram kedua suami isteri yang duduk bersanding itu dari ujung rambut mereka sampai keseluruh tubuh, dengan air dari tujuh mata air itu yang sudah ditaburi dengan bunga-bungaan.

Setelah pemimpin upacara itu selesai memandikannya, maka disiramnya kedua suami isteri itu dengan air gendi, sambil mengusap kepala masing-masing berganti-ganti. Setelah air gendi itu habis, maka gendi itu pun dibantingnya sampai pecah.

Setelah itu, maka mulailah para tamu, terutama perempuan-perempuan tua, berurutan memandikan keduanya. Setiap orang menyiram Ki Demang dan Nyai Demang dengan air yang dingin itu. Tidak hanya satu dua kali, tetapi kadang-kadang mereka memandikannya seperti memandikan bayi, menggosok tubuh mereka dan bahkan ada juga yang masih membaca doa-doa.

“Alangkah dinginnya” desis Ki Demang di dalam hati. Meskipun bibirnya menjadi biru dan gemetar, tetapi ia masih harus tetap duduk di tempatnya sampai orang terakhir selesai menyiram kepalanya dengan air yang dingin itu.

Demikian pula Sindangsari. Ia pun menjadi kedinginan dan gemetar. Tetapi ia harus bertahan sampai semuanya mendapat giliran memandikan mereka berdua.

Ketika orang yang terakhir telah selesai, maka orang tua yang memimpin upacara itu pun segera kembali masuk ke dalam pakiwan. Sekali lagi ia menyiram keduanya, lalu katanya kepada orang yang masih berkerumun di luar pakiwan “Ambillah lampu itu. Bawa pergi” Seseorang segera mengambil lampu itu. Mereka sudah tahu, bahwa pakiwan itu memang harus menjadi gelap.

“Nah, sekarang tergantilah. Lepaslah pakaianmu yang basah dan pakailah yang kering ini” berkata perempuan tua itu.

Ki Demang dan isterinya menjadi ragu-ragu sejenak. Sambil tersenyum tersipu-sipu Ki Demang berkata “Nanti saja. Di dalam”

“Sekarang. Harus sekarang. Kau sekarang bukan Demang. Akulah yang berkuasa sekarang” berkata perempuan tua itu.

Terdengar suara tertawa di luar pakiwan.

Ki Demang menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi karena pakiwan itu sangat gelap, maka dengan terpaksa sekali Ki Demang pun akhirnya bersedia juga berganti pakaian.

“Nyai Demang” berkata perempuan tua itu “Kau masih harus mencuci pakaian suamimu itu sebagai syarat bahwa kau benar-benar bakti dan setia”

Sindangsari tahu benar bahwa perempuan tua itu sama sekali tidak bermaksud apa-apa. Sebagai seseorang yang sudah terlampau biasa memimpin upacara semacam itu, maka urut-urutan upacara itupun sudah dihafalnya.

Namun demikian dada Sindangsari berdesir juga. Ia tahu, bahwa ia bukannya perempuan yang setia. Tidak setia kepada suaminya yang sekarang, dan tidak setia pula kepada cintanya.

Tetapi ia mencoba menyembunyikan perasaannya. Apalagi di dalam gelap. Sedang Ki Demang yang berganti pakaian di sampingnya pun tidak begitu terlihat olehnya dan oleh orang-orang yang berkerumun di luar pakiwan, meskipun pintu pakiwan itu tidak tertutup. Dengan demikian, meskipun seandainya ada kesan yang melonjak ke wajahnya sekalipun tentang perasaannya yang bergejolak itu, tentu tidak seorang pun yang akan melihatnya. Perempuan tua itu tidak dan suaminyapun tidak.

Ki Demang yang masih ada di pakiwan itu masih harus menunggui isterinya mencuci pakaiannya yang basah ketika ia dimandikan. Kemudian menunggu Sindangsari mengganti pakaiannya yang basah dengan yang kering pula.

“Nah, semuanya sudah selesai. Berdirilah berjajar di pintu”

Keduanya pun kemudian berdiri berjajar di pintu meskipun mereka belum berpakaian lengkap. Sementara itu, perempuan tua yang memimpin upacara itu mengayunkan siwur. gayung yang dipakainya untuk memandikan sepasang suami isteri itu, yang dibuat dari kelapa, bukan saja tempurungnya, tetapi juga bersama daging kelapanya, keatas sebuah batu sehingga gayung itupun pecah pula berantakan.

Setelah itu, barulah Ki Demang yang hanya mengenakan celana dan isterinya berkain pinjung diarak ke halaman depan. Sindangsari masih harus meloncati perapian di halaman. Merang seonggok yang baru mulai menyala”

Dari halaman keduanya dibawa masuk ke pringgitan. Tepat di muka pintu mereka harus berhenti untuk makan rujak tepat di tengah pintu.

“Ki demang” berkata perempuan yang memimpin upacara “sekarang Ki Demang boleh berpakaian lengkap, sedang Nyai Demang masih harus mencoba beberapa macam pakaian. Yang manakah nanti yang paling sesuai.

Pada saat Ki Demang mengenakan pakaiannya di dalam biliknya, setiap kali ia mendengar perempuan-perempuan yang ada dipringgitan berseru “Tidak. Tidak sesuai. Tidak pantas”

Maka Sindangsari pun harus berganti pakaian. Demikian terulang sampai enam kali. Dan ia harus mengenakan pakaiannya yang ke tujuh. Kain lurik berwarna hijau lumut dan baju dari bahan yang sama dan berwarna sama. Selembar kemben yang kehitam-hitaman dan selendang berwarna batu bata.

“Nah, kini baru pantas” berkata seseorang yang disahut oleh yang lain “Ya, sekarang baru pantas”

Hampir semua yang hadir menyambut pula “Ya. Sekarang sudah baik, sudah pantas dan cantik sekali”

Sindangsari hanya tersipu-sipu saja sambil menundukkan kepalanya. Ia sama sekali tidak berbuat apa-apa sementara orang-orang tua mengganti pakaiannya dan mengenakan pakaiannya yang ke tujuh di hadapan perempuan-perempuan yang memenuhipringgitan.

Setelah ia mengenakan pakaiannya yang terakhir, maka perempuan yang memimpin upacara itu pun kemudian menyelusupkan sepasang kelapa gading di dalam kain Sindangsari yang diterima dengan selendang diantara kedua kakinya sambil berkata “Nah. Nyai Demang. Kelak apabila anakmu laki-laki, ia akan setampan Kama dan apabila perempuan ia akan secantik Dewi Ratih”

Demikianlah maka upacara mengenakan pakaian itu sudah selesai. Sindangsari pun kemudian dibawa masuk ke dalam biliknya untuk benar-benar berpakaian dan menyisir rambutnya yang basah kuyup.

Dengan bibir yang biru dan gemetar karena dingin Sindangsari meneguk minuman panas yang memang disediakan untuknya.

“Dingin sekali“ ia berdesis.

Beberapa orang perempuan mengusap kakinya dengan minyak kelapa “Nanti akan segera menjadi hangat”

Namun dalam pada itu, Manguri yang menunggu upacara itu di kebun mengumpat-umpat di dalam hati.

Katanya, “Apa saja yang dikerjakan oleh orang-orang gila itu”

Lamat mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab.

“Semua sudah siap” berkata Manguri “perempuan-perempuan itu sudah keluar dari pringgitan. Upacara itu sudah selesai. Sebentar lagi Nyai Reksatani akan membawa Sindangsari keluar. Kau harus dapat melakukan tugasmu dengan baik”

Lamat mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab.

“Semua sudah siap” berkata Manguri “perempuanperempuan itu sudah keluar dari pringgitan. Upacara itu sudah selesai. Sebentar lagi Nyai Reksatani akan membawa Sindangsari keluar. Kau harus dapat melakukan tugasmu dengan baik”

Lamat menganggukkan kepalanya.

“Di ujung lorong ini telah tersedia seekor kuda untukmu dan seekor lagi kudaku. Di sudut padukuhan kita akan melampaui beberapa orang Ki Reksatani. Mudah-mudahan mereka tidak mengganggu kita”

“Kenapa mereka mengganggu?” bertanya Lamat.

“Mungkin mereka menginginkan Sindangsari pula Tetapi sudah tentu, mereka akan membunuhnya”

Lamat mengerutkan keningnya.

“Kalau ia segera dibunuh itu akan cukup baik buatnya. Tetapi aku tidak percaya pada laki-laki liar serupa itu. Mereka akan banyak berbuat sebelum mereka membunuh Sindangsari. Karena Itu kita harus menyelamatkannya”

“Apakah kira-kira mereka akan berbuat demikian?”

“Aku tidak tahu, mudah-mudahan tidak. Tetapi seandainya demikian aku sudah mengatur orang-orangku di pinggir parit di seberang jalan”

Lamat tidak menyahut.

“Kalau mereka akan merebut Sindangsari, kita akan mempertahankannya”

Lamat masih tetap berdiam diri.

“He, apakah kau sudah tuli he?” Manguri mengguncang-guncang tubuh Lamat.

“Ya, Aku mendengar dan aku mengerti. Aku sedang mencoba untuk menilai tugas yang akan aku lakukan”

“Apa yang perlu kau nilai?”

Lamat menggelengkan kepalanya “Bukan apa-apa”

“Nah, sekarang kau harus masuk ke halaman. Kau harus menempatkan dirimu di tempat yang sudah di tentukan. Aku sudah jemu menunggu”

“Baiklah. Aku akan mencoba melakukan tugasku baik-baik”

“Kalau kau membuat kesalahan, maka seluruh Kademangan akan menjadi gempar. Di pendapa terdapat Ki Demang, Ki Jagabaya, para bebahu Kademangan yang lain, dan beberapa orang kepercayaan Ki Demang”

Lamat menganggukkan kepalanya.

“Kegagalan itu akan berarti, mereka akan saling berkelahi melawan Ki Reksatani dan orang-orangnya termasuk kau dan aku, dan barangkali ayah juga”

“Ya, aku mengerti”

“Cepat, masuklah ke halaman”

Lamat pun kemudian dengan hati-hati mendekati dinding halaman belakang Kademangan. Di dalam bayangan dedaunan ia menjengukkan kepalanya. Ternyata tempat yang ditunjukkan oleh Ki Reksatani memang sepi. Meskipun dari tempatnya Lamat melihat beberapa orang duduk-duduk sambil berkelakar, namun mereka sama sekali tidak membayangkan, karena orang-orang itu sama sekali tidak memperhatikan tempat yang telah ditentukan itu.

Dengan lincahnya Lamat pun kemudian meloncat naik keatas dinding batu. Di lekatkannya tubuhnya rapat-rapat pada dinding itu sambil memperhatikan keadaan di sekitarnya.

Lamat menjadi berdebar-debar ketika ia melihat seseorang berjalan menelusur dinding batu itu. Sambil menahan nafasnya ia semakin melekatkan tubuhnya. Namun demikian ia sempat melihat, orang yang menelusuri dinding itu menjadi semakin dekat.

“Gila” desisnya “siapakah orang ini?” Tetapi agaknya orang itu sama sekali tidak memperhatikan bahwa ada seseorang yang berbaring menelungkup melekat pada dinding batu. Namun demikian Lamat menjadi semakin berdebar-debar. Bahkan Manguri yang ada di luar dinding pun menjadi berdebar-debar pula, karena iapun mendengar langkah seseorang mendekati Lamat.

Ketika orang itu telah lewat, Lamat menarik nafas dalam-dalam. Agaknya orang itu adalah salah seorang keluarga dari orang-orang yang membantu bekerja di dapur. Orang itu agak malu membawa sisa makanan lewat pintu depan. Karena itu, ia memilih jalan halaman belakang sambil membawa makanan sisa yang besok akan dijemurnya untuk makanan itik.

Meskipun demikian Lamat masih menunggu sejenak. Ketika ia sudah yakin bahwa tidak ada lagi orang yang akan melihatnya, maka ia pun segera meloncat masuk ke halaman dan langsung bersembunyi di dalam gerumbul perdu. Sedang Manguri berada di luar halaman sambil mengawasi keadaan.

Ia mengetahui dengan pasti bahwa di sekitar tempat itu ada satu atau dua orang pengawas yang di pasang oleh Ki Reksatani, meskipun pengawas itu telah mengambil tempatnya sendiri tanpa memberitahukan kepadaManguri.

Dalam pada itu, di dalam rumah Ki Demang di Kepandak, perempuan-perempuan tua yang melayani Sindangsari dan meriasnya telah selesai. Ketika Sindangsari dibawa keluar dari dalam biliknya, beberapa orang perempuan yang masih tinggal di pendapa menyambutnya dengan ramah.

“Perempuan ini memang cantik sekali” desis salah seorang dari mereka. Di dalam mengandung tujuh bulan, wajahnya menjadi semakin cerah seperti bulan”

Kawannya yang duduk di sampingnya menganggukkan kepalanya..Katanya “lihatlah ibunya yang duduk di sudut itu. Ibunya pun pasti seorang perempuan yang cantik sekali di masa remajanya”

Keduanya pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka memandang Sindangsari dengan mata yang seakan-akan tidak berkedip. Ketika Sindangsari kemudian duduk di sebelah ibunya, maka setiap mata seakan-akan telah terpancang pada keduanya.

“Alangkah cantiknya” tiba-tiba terdengar suara dari ruang dalam. Seseorang kemudian muncul sambil mengatupkan kedua telapak tangannya di muka dadanya “mBok-ayu memang cantik sekali”

Sindangsari berpaling. Namun kepalanya pun kemudian tertunduk sambil tersipu-sipu.

Orang itu, Nyai Reksatani pun kemudian mendekatinya sambil berkata “Aku menjadi sangat iri. Ketika aku menyambut bulan ke tujuh kandunganku yang pertama, aku tidak secantik mBok-ayu. Bukankah begitu bibi?” bertanya Nyai Reksatani kepada ibu Sindangsari”

“Ah” desis ibunya.

“Tentu saja” tiba-tiba seseorang menyahut “lihatlah. Keduanya memang sangat cantik. Kecantikan itu agaknya memang menurun”

“Ah“ Sekali lagi ibu Sindangsari berdesah “jangan memuji. Rambutku telah berwarna dua”

Perempuan-perempuan itu tertawa. Nyai Reksatani pun tertawa pula.

“Sayang” bisik seorang perempuan yang duduk di belakang “ibu Nyai Demang itu menjanda sejak suaminya meninggal. Kalau ia mau, pasti masih puluhan laki-laki yang ingin memperisterinya”

“Hidupnya semata-mata buat gadisnya sejak suaminya meninggal. Aku dengar, kawan suaminya seorang prajurit ingin juga memperisterikannya. Bahkan seorang perwira. Tetapi ia tidak bersedia. Ia lebih senang hidup bersama puteri dan kedua ayah ibunya”

Kawannya berbicara mengangguk-anggukkan kepalanya.

Dalam pada itu, maka Nyai Reksatani pun kemudian bertanya kepada Nyai Demang “mBok-ayu, apakah masih ada yang perlu dilakukan malam ini?”

Sindangsari tidak segera menyahut, karena ia tidak mengetahui maksud pertanyaan itu. Dipandanginya saja Nyai Reksatani dengan tatapan mata yang ragu-ragu.

“Eh, maksudku, apakah mBok-ayu akan beristirahat? Setelah mandi di tengah malam, kemudian berganti pakaian sampai tujuh kali, barangkali mBok-ayu merasa lelah”

Sindangsari menggelengkan kepalanya “Tidak. Aku tidak lelah”

“Sokurlah” jawab Nyai Reksatani. Tetapi ia mulai gelisah. Ia mendapat tugas untuk membawa Sindangsari keluar, ke tempat tugas untuk membawa Sindangsari keluar, ke tempat yang sudah ditentukan, sedang di pringgitan masih juga ada beberapa orang perempuan yang duduk-duduk mengawani Sindangsari dan ibunya.

Sejenak Nyai Reksatani kebingungan. Namun sejenak kemudian ia mendapat akal. Katanya “Agaknya masih ada diantara kita yang akan tinggal disini semalam suntuk. Karena itu, sebaiknya kalian duduk-duduk saja sejenak, aku akan menyiapkan jamuan untuk kalian. Biarlah orang-orang di dapur menanak nasi. Nasi panas pasti akan menambah gairah kalian tinggal bersama bidadari yang manis itu”

Ternyata pancingan itu mengena. Seorang perempuan tua segera menyahut “Sudahlah Nyai. Menjelang tengah malam, sebelum upacara dimulai, kami sudah makan. Dan kamipun agaknya tidak akan terlampau lama lagi tinggal disini”

“O, jangan begitu. Aku seakan-akan telah mengusir kalian. Tidak. Aku berharap agar kalian tinggal disini semalam suntuk”

“Kami perlu beristirahat”

“Tinggallah sebentar. Selama orang di dapur menanak nasi. mBok-ayu pasti kedinginan dan menjadi lapar. Kalian akan mengawaninya makan, karena sebenarnya mBok-ayu Demang masih belum makan.

“Biarlah ia makan bersama suaminya “Perempuan-perempuan di pringgitan itupun justru minta diri seorang demi seorang. Sebagian dari mereka tidak segera pulang. Tetapi pergi ke dapur atau ke bilik pengrantunan.

Nyai Reksatani menarik nafas karenanya. Ia harus bekerja cepat. Sebelum fajar, semuanya harus sudah selesai, sementara Ki Reksatani berusaha mengikat Ki Demang dan paratamu laki-laki untuk tetap duduk-duduk saja di pendapa.

“Makanlah dahulu mBok-ayu” bisik Nyai Reksatani kepada NyaiDemang “bersama bibi barangkali?”

“Aku sudah makan bersama para tamu” jawab ibu Sindangsari “makanlah sendiri, atau kau menunggu suamimu?”

“Ah” sahut Nyai Reksatani “kakang Demang tidak usah diganggu. Biarlah ia menemui tamu-tamunya. Marilah, aku layani kau makan mBok-ayu, selagi kau malam ini menjadi ratu”

“Ah“ Sindangsari berdesah sementara Nyai Reksatani tertawa.

Tanpa menunggu jawabannya lagi, maka ditariknya tangan Sindangsari dan dibawanya ke bilik dalam.

“Makanlah sudah sedia” katanya.

Sindangsari tidak dapat menolak lagi. Ia pun kemudian berdiri sambil berkata kepada ibunya “Apakah ibu tidak makan dahulu”

“Ya, marilah” sahut Nyai Reksatani.

“Terima kasih. Aku sudah makan bersama para tamu sebelum upacara. Sindangsari memang belum makan, karena itu makanlah”

Sindangsari pun kemudian dibimbing oleh Nyai Reksatani ke biliknya sambil berkata “Biarlah disediakan makanmu di dalam bilikmu saja”

Nyai Reksatani pun kemudian membimbing Nyai Demang masukke dalam biliknya.

Dalam pada itu. di halaman belakang, Manguri hampir tidak sabar lagi menunggu. Setiap kali ia selalu menengadahkan wajahnya ke langit, memandang bintang-bintang yang bergeser perlahan-lahan daritempatnya.

“Semuanya harus dilakukan sebelum fajar” desisnya “kalau orang-orang di sekitar halaman ini sudah bangun, maka gagallah semua usaha yang sudah dirancang begitu matang. Untuk mendapatkan kesempatan yang lain agaknya terlampau sulit” berkata Manguri di dalam hati “sudah tentu kita tidak dapat berbuat apa-apa pada saat Sindangsari melahirkan.

Anak itu akan menjadi hantu yang paling menakutkan bagi Ki Reksatani, sehingga mungkin sekali, sebelum hari kelahiran ia akan mengambil cara yang paling kasan Membunuh Sindangsari dengan caranya”

Manguri menarik nafas dalam-dalam. Keringat dingin telah membasahi di seluruh tubuhnya. Sekali-sekali ia mencoba melekat pada dinding batu dan menengok ke halaman belakang Kademangan Kepandak. Tetapi ia tidak dapat melihat Lamat yang sudah bersembunyi disana.

Selagi Manguri dilanda oleh kegelisahan, Lamat pun sedang mereka-reka apa yang akan dilakukan kemudian setelah Sindangsari berhasil dibawa ke tempat persembunyiannya itu.

“Apakah aku dapat membiarkan semuanya itu terjadi?” katanya didalam hati.

Tetapi setiap kali Lamat hanya dapat berdesah di dalam hati ”Apakah aku benar-benar telah terbelenggu oleh hutang budi itu sepanjang umurku? Umur yang seolah-olah sudah bukan milikku lagi ini?”

Lamat menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia menjengukkan kepalanya dari sela-sela dedaunan. Tetapi ia tidak melihat seorang pun yang datang mendekat. Bahkan kadang-kadang timbul pikirannya “Mudah-mudahan tidak ada kesempatan untuk membawa Sindangsari kemari, sehingga seandainya malam ini gagal, maka kegagalan itu bukan terletak pada kesalahanku”

Tetapi dalam pada itu Nyai Reksatani telah berhasil memisahkan Sindangsari dari ibunya. Dilihatnya seseorang yang disuruhnya telah menyajikan makan bagi Sindangsari ke dalam bilik itu, sementara ia berjalan hilir mudik di ruang tengah. Namun sepeninggal orang yang mengantar makan ke dalambilik itu, Nyai Reksatani segera masuk kedalam.

Dengan nada yang tergesa-gesa ia berkata “mBok-ayu, agaknya, masih ada yang kurang di dalam peralatan ini”

Sindangsari mengerutkan keningnya.

“Apakah mBok-ayu mendengar ceritera yang telah terjadi di dapur?”

“Jambangan yang pecah itu?”

“Ya, dan nasi yang tidak mau masak seperti biasanya?

Meskipun akhirnya masak juga, tetapi cobalah, rasakanlah nasi itu yang agaknya sama sekali tidak sedap“

Sindangsari tidak segera menjawab

”mBok-ayu tahu sebabnya?”

Sindangsari menggeleng.

“Tentu ada sesaji yang kurang. Beruntunglah kita kalau yang diganggu hanya sekedar macam-macam masakan atau jambangan pecah, tetapi kalau yang lain?”

“Apakah yang lain itu?”

“Kita. Salah seorang dari kita. Atau” Nyai Reksatani tidak melanjutkannya.

“Atau” Sindangsari mengulang.

“Sudahlah. Makanlah”

“Tetapi apakah yang kau maksud?”

“Makanlah“

Sindangsari menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun kemudian menyenduk nasi dengan entong kayu dan menaruhnya diatas mangkuk.

“Kautidak makan?” ia bertanya kepada Nyai Reksatani.

“Aku sudah makan. Lima kali sejak tengah hari.

Sindangsari tersenyum. Kemudian iapun mulai menyuap mulutnya. Namun ia tertegun ketika ia melihat Nyai Reksatani menjadigelisah sekali.

“Kenapa kau?”

“Perasaanku menjadi tidak enak. Tetapi apakah kau merasakan sesuatu pada kandunganmu?”

“Tidak. Kenapa?” Sindangsari menjadigelisahpula.

“Sesaji itu” bisiknya “bibi juru adang di dapur bermimpi sambil duduk di muka perapian. Ini tidak biasa terjadi.”

“Mimpi apa?”

“Kiai Candil dirumpun bambu petung di belakang”

“Kenapa?”

“Yang memberikan sesaji agaknya bukan orang yang biasa membuat untuknya. Bukan aku. Ternyata ada kekurangannya”

“Apa?”

“Sadak kinang yang diramu dengan daun sirih muda”

“O, kenapatidakdisediakan?”

“Aku akan pergi melengkapinya” Nyai Reksatani pun kemudian berdiri, lalu “aku sudah menyediakan sadak kinang itu“ ia termenung sejenak, lalu “marilah, Ikutlah. Aku akan menunjukkan kepadamu, dimanakah letak sesaji itu seharusnya. Karena kau akan tinggal di rumah ini untuk seterusnya. Kau harus tahu dan harus mengerti, apa yang sebaiknya kau lakukan untuk keselamatan seluruh keluarga dan terlebih-lebih untuk bayimu”

“Jadi?”

“Kita pergi ke kebun belakang sebentar. Sebentar saja”

“Baiklah, aku selesaikan sebentar makanku ini”

“Ah, marilah. Tinggalkan itu sebentar supaya kau tidak tergesa-gesa dan kau dapat makan dengan tenang”

Sindangsari termangu-mangu sejenak. Dan tiba-tiba saja ia bertanya “Tetapi kenapa baru sekarang kau akan melengkapi sesaji itu? Selagi aku sudah mulai makan? Kalau kau mengetahui hal itu sebelumnya, tentu aku tidak akan tergesagesa menyenduk nasi”

“Aku mencoba untuk menunggu sampai kau selesai makan. Aku tidak mau mengganggu ketenanganmu“ Nyai Reksatani berhenti sejenak, lalu “tetapi aku menjadi sangat gelisah”

Sindangsari termenung sejenak Namun iapun menjadi gelisah karenanya. Tanpa sesadarnya dirabanya perutnya yang terasa semakin membesar.

“Marilah sebentar mBok-ayu. Hanya sebentar. Kita akan menjadi tenteram. Tinggalkan sajalah makanan itu, nanti kau ulangi lagi”

Sindangsari tidak dapat menolak lagi. Kemudian diikutinya Nyai Reksatani keluar dari biliknya. Tetapi Nyai Reksatani tidak mengambil jalan tengah yang melalui dapur. Ia lebih senang lewat butulan sebelah kiri.

“Kenapa kita memilih jalan yang gelap?” bertanya Sindangsari.

“Aku menghindari orang-orang yang ada di dapur Mereka akan bertanya segala macam persoalan yang menjemukan. Kita pergi saja sendiri lalu semuanya akan selesai tanpa pembicaraan yang kadang-kadang tidak masuk akal dan bahkan menyimpang dari persoalan yang sebenarnya”

Sindangsari tidak bertanya lagi. Ia berjalan saja mengikuti Nyai Reksatani keluar dari pintu butulan sebelah kiri.

Ketika Sindangsari menjejakkan kakinya di halaman, terasa bulu tengkuknya meremang. Serasa sesuatu merayapi hatinya yang cemas dan gelisah. Di sebelah rumah itu agaknya sudah menjadi sepi. Anak-anak muda yang duduk-duduk sambil berkelakar sudah meninggalkan tempatnya dan tidur di gandok. Meskipun lampu yang terang benderang di pendapa masih melemparkan cahayanya ke halaman depan, tetapi agaknya mereka yang duduk di pendapapun sudah menjadi lelah dan kantuk. Tidak banyak lagi terdengar gelak tertawa diantara mereka.

Sindangsari berjalan berjingkat tanpa sesadarnya di belakang Nyai Reksatani. Meskipun tengah malam telah jauh lewat, tetapimalam masih kelambukankepalang.

“Di rumpun bambu yang mana?” bisik Sindangsari. Terasa suaranya menjadi gemetar.

“Itu, rumpun bambu petung”

“Kenapa kita tidak membawa obor? Atau aku akan mengambilnya sebentar?”

“Ah tidak perlu. Kita sudah hampir sampai”

Sindangsari tidak berkata-kata lagi. Meskipun terasa dadanya bergetar, tetapi ia berjalan saja di belakang Nyai Reksatani. Tanpa diketahui sebabnya, setiap langkah terasa semakin bertambah berat. Tetapi dipaksakannya ia berjalan terus. Ia justru mencoba mengusir segala perasaan takut dan cemas.

Manguri yang ada di luar halaman mengangkat kepalanya ketika ia mendengar suara dua orang perempuan di halaman belakang. Meskipun seolah-olah mereka hanya saling berbisik, tetapi telinga Manguri yang tajam segera dapat menangkapnya, dan dengan segera pula ia memastikan bahwa keduanya itulah Nyai Reksatani dan Sindangsari.

Terasa jantung Manguri berdetak semakin cepat. Dengan tegangnya ia mencoba menjenguk dari atas dinding batu yang melingkari halaman itu.

Darahnya serasa berhenti ketika ia melihat dua orang perempuan berjalan ke arah tempat yang telah ditentukan oleh Ki Reksatani.

“Pasti mereka” desisnya meskipun Manguri masih belum dapat melihat wajah-wajah mereka di dalam gelap.

Sejenak Manguri seakan-akan membeku di tempatnya. Nafasnya menjadi terengah-engah dan dadanya serasa berdentangan.

“Mudah-mudahan Lamat berhasil tanpa menimbulkan persoalan yang rumit” katanya didalam hati.

Sementara itu, Lamat masih berjongkok di tempatnya.

Ketika ia mendengar suara perempuan dan melihat dua bayangan mendekat, iapun menjadi berdebar-debar. Tiba-tiba saja kepalanya menunduk dalam-dalam seakan-akan ia ingin melihat warna hati di dalam dadanya.

“Apakah aku akan melakukannya?” pertanyaan itu tiba-tiba telah meronta di dalam dadanya.

Kedua bayangan itu semakin lama menjadi semakin dekat. Mereka berjalan menuju kerumpun bambu petung di sebelah rumpun perdu tempat Lamat tersembunyi.

“Disitu mBo-ayu berkata Nyai Reksatani “mbok-ayulah yang harus meletakkannya..

“Aku?”

“Ya”

“Dimana?”

“Di rumpun bambu itu telah ada sesaji. Tetapi sesaji itu kurang memenuhi keinginan penunggu rumpun bambu itu. Karena itu taruhlah sadak kinang ini ke dalam ancak sesaji itu”

Sindangsari termangu-mangu sejenak, seperti Lamat masih juga termangu-mangu. Sejenak ia menahan nafas sambil memandang keduanya. Dadanya serasa menjadi retak oleh pergolakan perasaannya sendiri.

“Aku tidak dapat lari dari dunia yang kelam ini. Aku adalah orang yang paling palsu di muka bumi. Aku adalah orang yang sama sekali tidak berani melihat kejujuran di dalam diri” berkata Lamat di dalam hatinya “dan kini aku harus melakukannya. Sebuah kepalsuan yang tidak berperikemanusiaan sama sekali”

Lamat masih menundukkan kepalanya. Wajahnya yang kasar menjadi tegang. Nafasnya tertahan-tahan dan tangannya tiba-tiba menjadi gemetar.

Lamat adalah seorang yang bertubuh raksasa, berwajah kasar seperti batu padas. Namun di dalam keadaan yang paling sulit, terasa matanya menjadi panas. Ia merasa betapa dirinya kini menjadi manusia yang paling tidak berharga, sehingga tidak seorang pun yang dapat mengerti dan menghargai perasaannya.

Hampir saja Lamat tidak dapat menahan diri. Ia sadar ketika terasa setitik air menghangati tangannya.

Ketika ia mengangkat wajahnya, ia melihat Sindangsari sedang membungkukkan punggungnya meletakkan sadak kinang di dalam ancak sesaji. Bayangan kegelapan rumpun bambu seakan-akan telah melindunginya. Ketika ia selesai, maka ia pun segera tegak kembali dan melangkah surut.

“Begitukah?” ia bertanya.

“Ya. Begitu” sahut Nyai Reksatani yang menjadi gelisah. Ia sudah berhasil membawa Sindangsari ke tempat yang ditentukan. Tetapi tidak seorang pun yang datang untuk mengambil Sindangsari.

Manguripun mengumpat-umpat didalam hati.

“Apakah yang ditunggu anak gila itu?” Manguri menggeram didalam hatinya.

Dalam pada itu, Lamat menyadari, bahwa ia tidak mempunyai waktu lagi. Ia harus segera bertindak di dalam waktu yang singkat. Ia sadar, bahwa Nyai Reksatani sudah menjadi gelisah, karena ia masih belum berbuat apa-apa.

“Maafkan aku Sindangsari“ ia berdesis di dalam hati. Namun sejenak kemudian ia menggeretakkan giginya, seolah-olah mencari sandaran kekuatan bagi hatinya yang ringkih.

Sejenak kemudian Lamat itupun segera meloncat seperti seekor harimau menerkam Sindangsari. Betapa terkejutnya perempuan itu. Seperti juga Nyai Reksatani yang terkejut pula. Tetapi Sindangsari sama sekali tidak sempat berteriak. Tangan yang kokoh kuat tiba-tiba saja telah menyumbat mulutnya. Dalam keadaan yang tidak terkuasai itu, ia masih mendengar seseorang berdesis “Maafkan aku. Bukan maksudku menyakiti kau”

Setelah itu, ia merasakan tekanan yang berat pada urat di sisi lehernya. Kemudian ia tidak merasakan sesuatu lagi. Pingsan.

Nyai Reksatani masih berdiri mematung di tempatnya. Dipandanginya Lamat seperti memandang hantu. Namun demikian ketika ia melihat Sindangsari yang lemas di tangan raksasa itu, terasa dadanya seakan-akan retak.

“Hati-hatilah“ ia berdesis.

Lamat terkejut mendengar pesan itu. Tetapi ia tidak segera menyahut.

“Perlakukan perempuan itu dengan baik. Apalagi ia sedang mengandung”

Lamat mengangguk perlahan-lahan ”Baik Nyai jawabnya dengan suara yang berat “aku akan memperlakukannya dengan sebaik-baiknya”

“Katakanlah kepada Manguri, jagalah perempuan itu. Bukan saja tubuhnya, tetapi juga perasaannya. Kalau Manguri menghendakinya, ia harus menerima perempuan itu seutuhnya. Jangan hanya Sindangsari yang tampak itu.

Seorang perempuan muda yang cantik yang barangkali telah menggelegakkan nafsunya sebagai seorang laki-laki. Tetapi Manguri pun harus menerima semua yang ada padanya. Yang disenangi maupun yang tidak”

“Ya Nyai“

“Kau tahu, aku juga seorang perempuan dan aku juga mempunyai anak perempuan”

Lamat tidak menjawab. Terasa matanya menjadi panas lagi dan tenggorokannya serasa tersumbat ketika ia mendengar Nyai Reksatani itu terisak.

“Sudahlah, bawalah”

Lamat mengangguk “Aku akan menjaganya Nyai” tiba-tiba saja terloncat dari bibir Lamat, sehingga justru Lamat sendiri terkejut karenanya.

Tetapi Nyai Reksatani tidak menyahut lagi. Bahkan dengan tergesa-gesa ia memutar dan pergi meninggalkan Lamat yang termangu-mangu.

Lamat terkejut ketika ia merasa seseorang menggamitnya. Ketika ia berpaling ternyata Manguri sudah berdiri di sampingnya.

“Kau jangan menjadi gila. Cepat, kalau kau terlambat, maka semuanya akan rusak” bisik Manguri.

Lamat menganggukkan kepalanya. Keduanya pun kemudian pergi meninggalkan halaman itu sambil membawa Sindangsari yang pingsan.

Lamat dan Manguri pun kemudian segera pergi ke tempat kuda-kuda mereka disediakan. Lamat segera meloncat naik sambil mendukung Sindangsari, sedang Manguri pun naik pula keatas punggung kudanya.

“Marilah“ ajak Manguri.

Keduanya pun kemudian meninggalkan tempat itu dengan perasaan yang berbeda-beda.

Namun keduanya tidak segera memacu kudanya, supaya derap kaki kuda-kuda itu tidak menimbulkan berbagai macam pertanyaan di hati penduduk. Apalagi apabila diantara mereka ada yang menjenguk keluar dan melihat siapakah mereka.

Di ujung desa mereka melewati beberapa orang yang di tempatkan oleh Ki Reksatani untuk bertindak setiap saat, apabila keadaan memburuk. Tetapi agaknya mereka sama sekali tidak berbuat apa-apa terhadap Manguri dan Lamat.

“Apakah kalian sudah berhasil?” bertanya salah seorang dari mereka.

“Ya, semuanya sudah selesai” jawab Manguri.

“Baiklah. Supaya tidak menimbulkan kesan apapun bagi orang-orang yang melihat, meskipun dari kejauhan, maka kita akan berpencar” berkata salah seorang dari mereka.

“Ya, berpencarlah” sahut Manguri.

“Pada saatnya kami akan menemui Ki Reksatani

“Silahkan. Akupun akan mencari kesempatan pula”

Manguri dan Lamat pun kemudian meneruskan perjalanan mereka membawa Sindangsari yang sedang pingsan. Namun agaknya Lamat benar-benar telah menjaga sebaik-baiknya. Ia menyadari bahwa kandungan Sindangsari akan terganggu apabila derap kudanya nanti akan mengguncang-guncang tubuh perempuan itu.

Setelah mereka sampai kebulak yang panjang barulah mereka mempercepat langkah kuda kuda mereka. Apalagi setelah mereka melihat bayangan kemerahan di langit.

Di tengah-tengah bulak, Manguri berhenti sejenak. Dari sela-sela batang jagung muda beberapa orang merangkak-rangkak keluar dan berloncatan kejalan.

“Tidak terjadi sesuatu?” bertanya salah seorang dari mereka, orang-orang yang memang di tempatkan oleh Manguri untuk mengawasi keadaannya apabila lerjadi sesuatu yang tidak terduga-duga.

“Tidak. Kembalilah Jangan menimbulkan kesan yang dapat merugikan aku dan kita semua”

“Baiklah“

Orang-orang itu adalah orang-orang yang biasanya ikut mengawal ternak apabila ayah Manguri mengirim ternak keluar daerah dan ke tempat-tempat yang jauh.

Sejenak kemudian maka Manguri dan Lamatpun berpacu semakin cepat menuju ke tempat terpencil. Tempat penampungan ternak yang jarang dikenal. Yang ada di tempat itu hanyalah kandang kandang yang besar, patok-patok dan pelanggaran untuk mengikat tali-tali ternak yang sedang dikumpulkan sebelum dibawa keluar daerah.

Ternyata, baik orang-orang Ki Reksatani, maupun orang Manguri, segera telah berhasil menghilangkan jejak mereka. Setelah mereka berpencaran, maka merekapun berjalan seenaknya di jalan-jalan persawahan seperti orang-orang yang akan pergi ke pasar yang jauh. Tidak seorangpun yang menumbuhkan kecurigaan kepada orang-orang yang mereka temui di sawah-sawah karena mereka sedang menunggui air yang menjadi bagian mereka malam itu, karena air agak sulit didapat di musim kering yang panjang.

Dalam pada itu, Manguri dan Lamat pun segera sampai pula ke tempat tujuan mereka, karena kuda-kuda mereka berpacu semakin cepat.

Dengan tergesa-gesa mereka meloncat turun dan menambatkan kuda-kuda mereka. Dengan tergesa-gesa pula Lamat mendukung Sindangsari menuju ke gubug di pinggir pekarangan yang sangat luas itu.

Mereka terkejut ketika mereka melangkah masuk. Ternyata ayah Manguri telah duduk di dalamnya menghadapi sebuah pelita minyak.

“Ayah” desis Manguri.

“Ya. Aku sudah menunggu. Aku menjadi cemas kalau terjadi sesuatu atas kalian. Tetapi yang paling cemas adalah apa yang akan terjadi kemudian ”

“Kenapa?”

“Lalu, apakah yang akan kau lakukan setelah kau berhasil membawa Sindangsari kemari”

“Biarlah ia ada di sini untuk beberapa lama. Bukankah ayah sudah mendapatkan tempat yang lain untuk menampung ternak sebelum ayah membawanya pergi”

“Kenapa tempat lain”

“Menurut Ki Reksatani semakin banyak orang yang mengetahui hal ini, akan semakin berbahaya baginya”

“Ia benar” sahut ayahnya “aku akan membatasi hanya orang-orang yang memang sudah mengetahui hal ini sajalah yang akan datang ke tempat ini. Tetapi untuk memindahkan dengan serta-merta tempat penampungan ternak ini, pasti akan menimbulkan kecurigaan orang”

Manguri mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Sekarang apa yang akan kau lakukan?”

“Sekarang?”

“Ya, sekarang ini”

Manguri mengerutkan keningnya “Maksud ayah, apa yang harus aku kerjakan sekarang ini?”

“Ya”

Manguri menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya “Tidak ada. Aku akan beristirahat disini. Aku lelah sekali. Aku lelah dan mengantuk”

“Aku sudah menduga. Karena itulah maka aku datang kemari”

“Maksud ayah? Apa lagi yang harus aku lakukan pagi ini?”

“Pulanglah cepat. Masuklah ke dalam bilik kalian masingmasing, dan tidurlah seperti biasa, seperti tidak terjadi apa-apa”

Manguri tidak segera mengetahui maksud ayahnya, sehingga sejenak ia memandang Lamat, kemudian memandang ayahnya.

“Apakah maksud ayah, aku harus membawa Sindangsari pulang ke rumah?”

“Tentu tidak. Biarlah ia disembunyikan disini. Taruhlah ia di dalam bilik sempit di sebelah. Kalau karena kecurigaan Ki Demang, ia mengirim orang kemari, biarlah aku yang bertanggung jawab. Tidak seorang pun yang akan melihat, bahwa dibalik gledeg itu adalah pintu sebuah bilik”

“Lalu kenapa aku harus kembali pulang dan masuk ke dalam bilik seperti biasa dan seperti tidak terjadi apa-apa”

“Cepat, letakkan perempuan itu di dalam bilik kecil itu, dan segera pulang. Kau dengar?”

Manguri menjadi ragu-ragu sejenak. Dipandanginya wajah Sindangsari yang masih pingsan, kemudian wajah ayahnya berganti-ganti.

“Jangan cemas. Aku akan menungguinya seperti menunggui anakku sendiri. Tetapi kau harus segera pulang sekarang”

Lamat pun kemudian masuk ke dalam bilik kecil di belakang gledeg itu untuk meletakkan Sindangsari. Katanya “Ia akan segera sadar”

“Aku akan menungguinya. Kalau ia berbuat sesuatu yang dapat berbahaya bagi kita, aku akan membuatnya pingsan pula”

Lamat mengerutkan keningnya Dan tanpa sesadarnya ia berkata “Ia sangat lemah”

Ayah Manguri mengangguk-anggukkan kepalanya ”Baiklah. Aku akan menyesuaikan keadaannya dengan kemungkinan yang dapat terjadi”

Meskipun ragu-ragu tetapi Manguri dan Lamat pun kemudian segera berpacu pulang ke rumahnya. Seperti pesan ayahnya, merekapun segera membersihkan diri, mencuci kaki dan berganti pakaian, kemudian masuk ke dalam bilik masing-masing”

Sementara itu, di Kademangan Kepandak. Nyai Reksatani yang telah mengumpankan Sindangsari ke halaman belakang, langsung kembali masuk ke dapur. Ia tidak kembali lagi ke bilik Sindangsari atau ke pringgitan. Sejenak kemudian ia pun sudah sibuk bekerja diantara orang-orang yang masih ada di dapur menyiapkan makan pagi bagi orang-orang yang semalam-malaman membantu di rumah itu, serta untuk mereka yang tertidur di gandok dan di pendapa.

Yang masih tinggal di pringgitan adalah ibu Sindangsari, Ia duduk dengan satu dua orang perempuan tua sambil berbicara tentang berbagai masalah. Ibu Sindangsari itu adalah perempuan yang paling banyak melihat dunia di luar lingkungan Kademangan Kepandak dari orang-orang lain. Karena itu, maka ialah yang paling banyak berceritera tentang segala sesuatu yang pernah dilihatnya.

Namun setelah sekian lama mereka berbicara, Sindangsari masih belum juga datang kembali diantara mereka. Tetapi perempuan-perempuan itu tidak menghiraukannya. Mereka menyangka bahwa Sindangsari masih terlampau lelah, sehingga ia tertidur atau berbaring di biliknya.

“Biar sajalah” berkata seorang perempuan tua “ia lelah sekali. Apalagi perutnya yang sudah menjadi semakin besar. Ia memang perlu beristirahat”

Karena itu maka tidak seorang pun yang segera mengetahui, bahwa Sindangsari sudah tidak ada di dalam biliknya.

Ketika seorang perempuan yang menyediakan makan Sindangsari itu kemudian masuk lagi ke dalam biliknya untuk mengambil sisa makannya, ia terkejut. Makanan Sindangsari yang sudah disenduk di dalam mangkuk masih belum dimakannya. Karena itu, maka iapun segera mencarinya ke pringgitan.

“Apakah Nyai Demang duduk disini?” perempuan itu bertanya.

“Ia ada di dalam biliknya” jawab ibu Sindangsari bersamaan dengan beberapa orang perempuan lainnya.

“Tidakada. Aku baru saja masuk kedalam bilik itu”

“O, barangkali ia ada di dapur”

“Juga tidak ada. Sejak tengah malam aku ada di dapur”

Ibu Sindangsari mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata “Mungkin ia sedang berada di pendapa atau di tempat-tempat lain”

“Tetapi Nyai Demang masih belum makan”

“Ia pergi ke dalam biliknya bersama Nyai Reksatani”

“Ya, akulah yang menyiapkan makan untuknya. Nasi sudah disenduk. Tetapi masih belum dimakannya”

“Bertanyalah kepada Nyai Reksatani”

Perempuan itu pun kemudian pergi mencari Nyai Reksatani di dapur. Kepadanya ia bertanya pula tentang Sindangsari.

Betapa dada Nyai Reksatani serasa pepat. Namun kemudian ia menjawab ”Ia berada di biliknya. Bukankah ia sedang makan? Dan bukankah kau tadi yang menyediakan makan buatnya”

“Ya. Aku memang akan mengambil sisa makan itu. Tetapi nasi yang sudah disenduk masih belum dimakannya”

“Ah, jangan berkhayal”

“Nyai tidak percaya”

Nyai Reksatani mengerutkan keningnya. Kemudian katanya kepada seorang perempuan yang duduk di sampingnya ”Lihatlah ke dalam bilik itu. Aku sedang mengukur kelapa. Tanganku kotor sekali”

bersambung ke bagian 2

Tinggalkan komentar